Satu menit berlalu, pandangan mata Irene Cahya (11) belum juga lepas dari wujud setrika besi dengan lambang ayam jago di atasnya. Siswi kelas VI SD itu terheran-heran oleh rupa setrika nirkabel warna hitam pekat itu. Walau tinggal di desa, dia belum pernah sekali pun melihat benda tersebut.
“Kalau enggak pakai kabel, listriknya masuk lewat mana, ya? Atau seperti HP (telepon seluler), kan di-charge dulu baru bisa dipakai?” kata Irene penasaran kepada teman-teman kelasnya yang lain.
“Itu setrika arang. Panasnya dari arang yang membara. Dulu, sebelum ada listrik di desa ini, semua orang pakai setrika seperti ini,” kata Wiyono, penjaga museum menjelaskan.
Senin (14/12) siang, Irene dan siswa-siswi SD Negeri 1 Dermaji mengunjungi Museum Naladipa di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sebuah museum desa yang dibangun secara swadaya oleh warga di salah satu pelosok Banyumas itu.
Ruangan museum itu tidak besar. Ukurannya sekitar 8 meter x 5 meter. Namun, kondisinya bersih, terang, dan terawat sehingga nyaman dikunjungi. Museum yang diberi nama Naladipa itu berada di kompleks Kantor Pemerintahan Desa Dermaji.
Memasuki ruangan museum terpampang rapi deretan perkakas pertanian, pertukangan, alat-alat rumah tangga, hingga jenis mata uang yang pernah berlaku di Indonesia dari masa ke masa. Benda-benda itu ditata rapi di atas meja-meja kecil.
Di tengah ruangan terdapat garu berukuran besar lengkap dengan mata bajaknya. Alat yang biasa ditarik sapi atau kerbau itu masih jadi perangkat wajib petani kala mengolah tanah sebelum masa tanam.
Benda-benda pertukangan dan pertanian yang lain adalah golok, gergaji, sabit, ani-ani, tampah, dan caping. Sementara di bagian alat-alat rumah tangga dapat dijumpai beberapa perkakas yang pernah dipakai masyarakat di masa lalu, seperti irus dan centong (sendok nasi) bambu, gogok atau kendi dari tanah liat, setrika arang, bokor, dan sentir (alat penerangan berbahan bakar minyak tanah).
Peradaban budaya
Naladipa juga memamerkan beberapa benda yang dulu digunakan sehari-hari sebelum kecanggihan teknologi mengubah peradaban, seperti radio transistor dan mesin tik manual. Di salah satu sudut ruangan terdapat sebuah kotak kaca yang memampangkan berbagai jenis mata uang logam dan kertas yang pernah dipakai sebagai alat tukar di negeri ini.
Pada setiap benda diikatkan secarik kertas berisi informasi yang mencantumkan nama benda serta fungsi alat itu. Penyebutan nama benda itu disesuaikan dengan daerah di Banyumas. Salah satunya gembes, yang dalam kertas informasi disebutkan sebagai botol aluminium wadah air minum bagi para musafir yang menempuh perjalanan jauh.
Kendati lokasinya cukup terpencil, sekitar 60 kilometer di sebelah barat daya Purwokerto, hampir setiap hari selalu ada yang berkunjung ke Museum Naladipa. Padahal, lokasi Desa Dermaji cukup sulit dijangkau karena dikepung perbukitan kapur. Satu-satunya akses menuju ke sana adalah jalan kecil yang curam dan berliku.
Semua keterbatasan itu tak membuat mereka kehilangan semangat membangun desa. Kepala Desa Dermaji Bayu Setyo Nugroho, penggagas museum desa Naladipa, mengatakan, sejak dibangun 2013, museum ini telah menyimpan 300-an koleksi. Museum ini menjadi cara masyarakat Dermaji mengabadikan sejarah perkembangan masyarakat setempat.
Rekaman budaya dan teknologi yang hidup di antara warga desa dari masa ke masa. Yang menarik, pihak desa kini menggarap tayangan audio visual berisi penjelasan dari setiap benda yang dipajang. Video interaktif itu akan diputar setiap kali pengunjung datang.
Itu karena sebagian besar koleksi artefak ini telah dianggap masa lalu. Andrianto (34), pengunjung dari Purwokerto, misalnya, mengaku pernah mengalami masa ketika dia dan keluarga jadi pendengar setia sandiwara melalui radio transistor.
“Padahal, baru sekitar 20 tahun lalu, tetapi radio transistor seperti ini sudah jadi barang kuno. Sekarang, radio didengarkan dari ponsel atau laptop. Museum ini mengingatkan bahwa pola komunikasi manusia terus berkembang,” katanya.
Melawan lupa
Semangat mendokumentasikan artefak peradaban dan perkembangan teknologi manusia juga tumbuh di Desa Pegadingan, Kecamatan Cipari, salah satu daerah terpencil di barat kota Cilacap. Tak hanya menyimpan perkakas rumah tangga, museum desa yang dibangun warga setempat itu juga menyimpan koleksi seni dan dolanan anak.
Menempati salah satu gedung milik desa, bangunan kecil berukuran 4 meter x 5 meter itu memajang lukisan tokoh dan figur publik Tanah Air. Sebut saja, lukisan mantan Presiden Soeharto hingga penyanyi legendaris Iwan Fals dan Nike Ardila.
Kepala Desa Pegadingan Gatot Susilo mengatakan, museum ini lahir dari keprihatinan warga melihat peralatan tempo dulu hingga dolanan anak yang langka dan lenyap dari ingatan anak-anak muda. Setelah diputuskan membangun museum desa pada akhir 2014 dengan dana swadaya, Gatot dan perangkat desa lain membuka kesempatan bagi warga yang memiliki benda-benda kuno untuk disimpan dan dipajang.
Tak terkecuali warga yang punya koleksi karya lukisan. Kepada warga, Gatot meyakinkan bahwa selain dijaga, benda itu akan lebih berarti karena dapat menjadi wahana pembelajaran bagi yang lain.
Desa juga menjalin kerja sama dengan sekolah di sekitarnya supaya museum itu menjadi laboratorium sejarah. “Ada penelitian dan riset kecil tentang benda dan alat yang dipajang di museum, misalnya tentang tulup danplintheng (ketapel), yang sekarang jarang ditemukan. Padahal, ini edukasi, betapa kita dulu dekat dengan alam,” tuturnya.
Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, menilai keberadaan museum desa meredefinisi makna museum yang sejauh ini dilihat semata-mata tempat kumpulan benda, padahal sesungguhnya mereka bertutur tentang tahapan peradaban manusia. Darinya, manusia bisa berefleksi dan menyelami kearifan lokal yang menjadi cikal bakal sebuah budaya.
Ini yang disadari sebagian masyarakat saat merintis museum-museum desa. Sebab, tanpa dokumentasi, sebesar apa pun sejarah peradaban manusia niscaya hilang digerus zaman. Namun, hal yang paling besar adalah dari desa didengungkan semangat melawan lupa.
Penulis : Gregorius Magnus Finesso
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Desember 2015, di halaman 1 dengan judul “Merawat Peradaban dari Sudut Kampung.”
Sudah 2kali ke Dermaji tpi belum sempat ke Museumnya
Luar biasaa.. saya salut. Museum desa menjadi bentuk implementasi tata kelola pengetahuan di desa
Keren nih.. buatkan mekanisme standart rancang bangun museum desa om, biar di copy temen2 desa lainnya
Luar biasa, kegiatan ini semoga terus menginspirasi banyak desa di indonesia
Museum Desa. Teman2 saya yang berprofesi guru tertarik untuk berkunjung ke museum Naladipa.
Saya masih berhutang ke desa Dermaji. Suatu saat di pastikan bisa menjejakan pendaratan di desa pusaka Dermaji.
Dermaji desa pusaka, tanah ibu pertiwi yang mencoba dan terus berupaya menorehkan janji bersama untuk makmurkan masyarakat desanya, menorehkan catatan dalam rupa aksara dan rupa rasa dalam bingkai indahnya seni dan budaya sebagai wujud penghambaan kepada sang penguasa alam Tuhan sang maha pencipta.
Torehan aksara dan rasa “maujud” dalam bentuk museum Naladipa. Naladipa pada sejatinya menyampsikan pesan bahwa kehidupan itu berubah terus menerus, seiring perubahan atau dinamika sosial. Naladipa bukan sekedar pengetahuan barang2 antik atau kuno, tetapi ia adalah pembelajaran kehidupan.
Manusia senantiasa mendaya gunakan akal pikirnya untuk memenuhi kehidupan yang di hadapi. Perkembangan atas pendayagunaan akal itulah yang disebut Teknologi.
Dermaji pada hakikatnya sedang mengkaji perkembangan teknologi dalam wujud musium naladipa, wujud dari perkembangan teknologi di bentuk dalam kekuatan rasa dengan menghargai kekuatan atas pendayagunaan potensi yang lahir dari kesadaran hidup. Inilah proses pendidikan
Melalui musium desa yang di bangun pada hakikatnya pemerintah desa Dermaji sedang membangun Pendidikan untuk generasi mendatang.
Sukses mas Bayu Setyo Nugroho