Tradisi turun temurun yang dialami masyarakat Dermaji pada  umumnya pada acara sunatan tempo deoleo dilakukan dengan berbagai rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pasca sunatan. Dalam hal ini penulis menceritakan pengalaman yang pernah penulis alami pada ritual sunatan jaman dulu, bagi anak –anak muda sekarang mungkin mentertawakan dan hal itu dikira mengada-ada dan hal yang lucu. Padahal itu benar-benar terjadi.

Undangan hajatan ( mbaranggawe)

Layaknya orang mau hajatan seperti sekarang biasanya menyebarkan undangan yang terbuat dari kertas mulai dari model yang paling sederhana sampai full Collor dengan berbagai variasi dan corak sesuai dengan kemampuan biaya yang tersedia bagi masing-masing yang akan hajatan. Namun pada jaman dulu hanya dengan modal tenaga dan keberanian seseorang, bisa mengundang saudara- saudara yang jauh maupun lingkungan sekitar. Tradisi sebelum mulai undang-undang sudah ditentukan hari baiknya ( kapat , karo atau kanem ) kemudian diadakan slametan dengan tumpeng kuat dan lauknya tawon ondohan. Biasanya yang diperintah supaya undang-undang adalah orang laki-laki yang tenaganya kuat , bisa berkomunikasi dan punya keberanian. Orang tersebut datang ke rumah-rumah dengan mengenakan pakaian khas yaitu celana wurung warna hitam ( Celana pendek sampai bawah lutut), baju wungkal gerang lengan panjang warna lurik/hitam, pakai iket  dan slendokan sarung sambil bawa teken (tongkat). Sampai di tempat rumah yang dituju ia mulai menyampaikan pesan/amanat yang disampaikan. Karena masyarakat Dermaji umumnya berbahasa jawa maka ucapannya juga menyesuaikan agar terjadi komunikasi alias nyambung. Contoh ucapannya :  Lerek-lerek bangkong pethak pinggir lepen, anggen kulo pinarek, kulo saweg dikengken sedherek kulo Paman Sutabesari rehning mbenjang dinten Setu Manis wulan Rajab tanggal rolas  badhe gadah hajat ngislami, panjenengan dipun aturi tiyang sekaliyan nggih? Kemudian yang diundang menjawab: Nggih, kulo tampi mugi-mugi  tekene akas. ( tekene akas artinya sehat dan ada yang untuk disumbangkan) Utusan ini berhari-hari naik turun dengan jalan kaki melaksanakan tugas kerumah-rumah sampai yang dituju selesai dengan cara yang sama.

Pelaksanaan Hajatan

Dua atau tiga hari sebelum hajatan dimulai, biasanya sudah disibukan untuk persiapan membuat jenang. Pada saat pembuatan jenang memerlukan tenaga sampai puluhan orang baik laki-laki maupun perempuan. Tugas mereka marut klapa, nguleni ampas klapa, glepung beras dengan lumpang, meminjam jadi/kenceng, ambil arang, nguleg jenang, ngempleng jenang dan menata jenang yang disimpan pada tempat yang namanya  para. Biasanya dalam waktu yang bersamaan dilanjutkan pembuatan wajik dan ketan.

Hajatan biasanya dilaksanakan dua hari dua malam. Pada awal malam hajatan disebut malem midadari. Untuk persiapan peralatan hajatan dibentuk panitia  yang ditugasi menata tempat (meja, kursi) dan barang grabah. Pada awal meminjam grabah (mimiti) ada grabah berupa pinggan dan piring yang dibungkus daun nyangkuh kemudian disimpan di pedaringan, kemudian barang tersebut diambil setelah selesai hajatan dan grabah akan dikembalikan. Tamu sudah mulai berdatangan dengan membawa sumbangan berupa makanan seperti: ketan, wajik, lapis, dodol, apem, cucur, opak, ampyang, pisang, uang  dan lain-lain. Tamu yang terpandang ( lurah, carik, bau, kebayan, ketua RT dll) biasanya ditempatkan ditempat khusus, dan suguhannya lebih istimewa. Sumbangan dari orang pertama yang berupa beras dan uang disimpan pada pedaringan, konon kalau sumbangan pertama bernilai tinggi maka akan menuntun nilai sumbangan selanjutnya. Kemudian tuan rumah tidak boleh menengok crabakan (tempat memasak dan tempat mengumpulkan beras). Kalau tuan rumah  tiba waktu makan, maka salah satu glidig (petugas) akan menghidangkan makanan untuknya. Di pintu masuk rumah dan disungai tempat ambil air minum dipasang sesaji yang diletakan pada ancak, dibawah ancak ada  degan (klapa muda) ,ikatan kayu bakar kecil, daun jampang pias dan daun pisang yang diikat kecil pula. Pada waktu menjelang sore sesaji itu dibakari kemenyan dan alunan do’a oleh seorang mejusi yang ditunjuk. Begitu pula di dekat dapur ditempat peberasan (tempat menghimpun beras sumbangan) juga dipasang sesaji yang macamnya sama.

Pelaksanaan Sunatan

Pelaksanaan sunatan biasanya dilaksanakan pada pagi hari  pada hari terakhir hajatan. Pada sekitar jam 04.30 pagi, anak yang akan disunat diajak ke sebuah sungai. Karena jalannya sulit biasanya anak tersebut digendong oleh seseorang. Di sungai sudah dibuat kedung (bendungan kecil yang tinggi airnya sekitar 30 cm). di kedung itulah anak yang akan di sunat supaya kungkum ( duduk sila di rendam dalam air kedung sekitar 1-2 jam). Karena situasi masih gelap maka di kedung itu dipasang damar kambang yang dibuat dari potongan kelapa muda diberi minyak kelapa dan ada sumbu yang bisa dinyalakan api sebagai penerangan. Di sungai juga dibuat pegenen ( api yang dinyalakan dengan suluh), kemudian berbagai makanan rakan yang ditaruh pada tampah nantinya rakan tersebut direbutkan oleh orang-orang  yang menyaksikan acara kungkum. Selama anak  kungkum (direndam air) dimeriahkan dengan musik selawatan dilingkungan sungai itu. Selawatan dilakukan oleh grup selawatan yang ada di kampung kita, dengan alat trebang (rebana) dan kendang. Salah satu lagu yang popular dari grup selawatan adalah lagu Bagendali yang konon lagu tersebut dianggap bisa mengusir harimau yang ada disekitarnya. Setelah kurang lebih 2 jam kungkum, anak tersebut dimandikan dengan mandi junub yang airnya berasal dari air kedung itu, kemudian didandani dengan pakaian khas Islami yaitu sarung (tidak pakai celana) dengan ikatan sabuk, baju hem putih lengan panjang, kopiah atau iket dan dibagian atas kopiah atau iket diberi bulu ayam. Kemudian anak digendong menuju rumah dengan diikuti iringan musik trebang yang sangat meriah. Sampai di halaman rumah sudah tersedia tempat duduk anak yang akan disunat. Tempat duduk dibuat dari pane (kayu yang dibuat seperti kuali) di atas pane  ada lawon (kain kafan) sebagai bantalan agar tempat duduk terasa empuk. Bagi orang yang hajatannya punya ujar atau kaulan (nadzar)  memotong kerbau atau sapi maka anak yang disunat duduknya diatas kepala kerbau atau sapi tersebut dan dialasi lawon juga.

Kemudian anak duduk dengan posisi menthang ( kedua kaki agak membuka ), pada waktu itu ibu kandung anak yang disunat mengusap muka anaknya dengan tumpal jarit (ujung kain yang dipakai), rambut ibunya  terurai (tidak digelung) mengelilingi si anak sambil nyemprot sambetan. Saat itulah dukun sunat yang dikenal dengan nama Praji siap beraksi untuk memotong kuncup penis dengan alat jepitan dari alumanium/besi dan pisau buatan empu tanpa diuji kestirilannya dan tidak menggunakan bius. Pada saat persiapan memotong sunat dibarengi dengan teriakan orang disekitar lokasi sunat dengan kalimat-kalimat:   Arobisa arongalih Mohammad ya Mohammad berulang-ulang, Bagi orang yang mampu biasanya dimeriahkan juga dengan menyalakan mrecon  (petasan) yang digandeng dan digantung disekitar tempat sunat.  dan bertepatan dengan waktu kuncup dipotong ada kata-kata Ceeeeet breeeeel gubal gabel, dibarengi pemotongan ayam disebelahnya. Setelah selesai memotong kuncup anehnya si Praji (dukun sunat)  itu terus lari dari lokasi, sepertinya tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu. Namun itu katanya memang perilaku yang tidak boleh dilanggar. Apakah ada  jasa dukun sunat? Penulispun tidak tahu. Yang jelas hanya diberi brekat dengan cara disusulkan pada dukun sunat itu. Pasca sunatan, anak duduk di kursi, dibawahnya ada kepulan asap oman (gagang padi) untuk menggarangnya sambil diberi makan lekang yaitu makanan yang terdiri dari bakaran trasi, brambang, garam dan makanan lain sambil dikipasi dengan ilir. Potongan kuncup di pendam dalam tanah, disiram banyu leri (air bekas mencuci beras) kemudian ditandai dengan bambu yang dilengkungkan.

Karena waktu itu belum mengenal  obat apapun, untuk mengeringkan luka sunat menggunakan obat tradisional dari daun katean yang digoreng kemudian ditumbuk lalu ditawurkan pada lukanya. Jika pada penis terjadi gejala cendheten (bengkak bagian bawah dan mengandung air) anak supaya ngasrep (tidak makan garam) sampai 3 hari. Anehnya cendheten cepat sembuh dan luka cepat kering.

Malik Samak

Malik samak (tikar), yaitu ritual yang dilaksanakan 2-3 hari setelah hajatan, dimana samak (tikar) yang digunakan untuk bantalan sesaji dipasang dengan sengaja  dibalik ( yang kasar dibagian atas), kemudian pada saat malik samak, samak itu dibetulkan supaya tidak terbalik. Semua glidig (petugas hajatan) berkumpul ditandai dengan acara slametan yang dipimpin oleh mejusi. Waktu inilah sudah bisa dimulai menghitung uang hasil hajatan yang sebelumnya uang disimpan pada blik yang tertutup rapat dan disimpan pada kamar tuan rumah.

Demikian uraian tentang tradisi sunatan masyarakat  Desa Dermaji jaman dulu, semoga bermanfaat bagi pembaca. ((Slamet,Spd/Yhon Ctgl)

 

0 Shares