Rancangan Undang-Undang tentang Desa (RUU Desa) yang diajukan Pemerintah pada saat ini tengah dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berbagai tanggapan pun muncul terhadap RUU Desa yang diusulkan Pemerintah tersebut. Termasuk tanggapan yang diberikan pada saat acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diselenggarakan oleh Pansus RUU Desa pada Rabu (20/6/2012) di ruang sidang Komisi II DPR-RI. Dalam RDP hari itu diundang berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki perhatian terhadap isu-isu desa. LSM tersebut adalah Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Institute for Research and Empowerment (IRE), Bina Desa, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa). Selain dari LSM, hadir juga dalam RDP, Kepala Desa dari jejaring Gerakan Desa Membangun (GDM). Mereka adalah Bayu Setyo Nugroho (Kepala Desa Dermaji Kecamatan Lumbir Kabupaten Banyumas), Agung Budi Satrio (Kepala Desa Melung Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas) dan Yananoviadi (Kepala Desa Mandalamekar Kecamatan Jatiwaras Kabupaten Tasikmalaya).
Perlunya memperkuat dan memperjelas otonomi serta kewenangan desa menjadi isu penting yang mengemuka pada acara RDP. KPA, misalkan mengkritik bahwa terdapat kesenjangan yang begitu lebar antara rekomendasi yang dibangun dalam naskah akademik dengan apa yang dituangkan dalam pasal-pasal dari RUU Desa yang diajukan Pemerintah. Jangkauan pengaturan yang disebutkan dalam naskah akademik tidak tercermin dalam pasal-pasal RUU Desa. Sebagai contoh, dalam nasakah akademik ada jangkauan pengaturan yang mencoba mengelaborasikan dengan baik model desa. Tapi ketika dicermati hal tersebut tidak tercermin dalam pasal-pasal. Dalam pasal-pasal mengenai penataan desa misalnya, tidak mencerminkan substansinya dari pengakuan terhadap desa adat, desa otonom sebagaimana dikemukakan dalam naskah akademik. RUU Desa versi Pemerintah tidak menggambarkan secara jelas posisinya terhadap eksistensi masyarakat adat dan terhadap persoalan otonomi asli. Beberapa pasal yang mengatur tentang kewenangan desa masih tersirat tidak adanya kerelaan penuh dari pemerintah untuk memberikan dan mengakui otonomi asli kepada desa. Desa masih hanya dianggap semata-mata sebagai perpanjangan tangan pemerintah saja. Di sini masih kuat terlihat adanya birokratisasi pemerintahan desa atau desa.
Suasana Rapat Dengar Pendapat RUU Desa
Dalam RUU Desa versi Pemerintah juga tidak ada pengaturan tentang agraria. Padahal sumberdaya agraria ini ada di desa. Desa sebagai basis pembaharuan agraria, seharusnya diberikan kemandirian dalam menentukan kelembagaan dan program yang terkait dengan pengukuhan hak asal usul. Desa harus diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan umum mengenai persediaan, peruntukan, penggunaan bumi dan angkasa untuk keperluan desa, untuk keperluan pusat-pusat kehidupan sosial dan kebudayaan, untuk pengembangan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta pengembangan industri dan pertambangan. Apabila hal ini bisa dielaborasi dalam RUU Desa, menurut KPA, masalah konflik agraria dan masalah tata guna bisa diatasi.
Senada dengan KPA, Bina Desa juga membuat beberapa catatan penting mengenai RUU Desa. Menurut Bina Desa, RUU Desa semestinya hadir sebagai regulasi yang memperkuat pertahanan rakyat pedesaan dengan kewenangan penuh untuk mengatur dan melindungi sumber-sumber kehidupannya dari ancaman penguasaan pihak lain di era liberalisasi. RUU Desa semestinya juga hadir sebagai regulasi untuk menaikkan derajat kehidupan rakyat pedesaan yang semakin terbelakang dan tercerabut dari entitas sosialnya, khususnya perempuan pedesaan. Apalagi dihadapkan pada kenyataan bahwa dari 34,96 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia, 63,38% diantaranya tinggal di desa.
Sedangkan menurut IRE, RUU ini seharusnya bisa mengakhiri “ambiguitas” pengaturan tentang Desa atau dengan nama lain. Ambiguitas antara Desa sebagai komunitas yang memiliki hak asal-usul untuk mengatur urusan komunitasnya sendiri, dengan Desa sebagai unit paling bawah dalam sistem pemerintahan di daerah yang didelegasikan kewenangan dari pemerintahan diatasnya. Keduanya memiliki watak pengaturan yang berbeda. Sehubungan dengan hal tersebut, maka RUU ini bisa mencakup dua jenis desa atau dengan nama lain tersebut, yaitu mengatur tentang Desa dalam perspektif masyarakat hukum (adat) yang berciri bestuurende lanschappen dan juga sekaligus mengatur tentang Desa sebagai unit pemerintahan terendah. Dengan mengatur dua jenis Desa tersebut, maka akan semakin jelas norma- norma hukum yang akan menjadi dasar bagi keberadaan kedua corak Desa tersebut.
Ada lima hal yang seharusnya menjiwai UU Desa menurut IRE. Pertama, keberagaman (sejarah, sosial , budaya, geografis dan sumberadaya); Kedua, kemandirian (hak desa untuk mengambil keputusan sendiri atas prakarsa masyarakat); Ketiga, demokratis (proses pengelolaan desa secara partisipatif, bertanggungjawab, terbuka dan setara); Keempat, pemberdayaan (pemberian kepercayaan dan kesempatan pada Desa untuk mengembangan inisiatif dan potensi desa); Kelima, kesejahteraan dan keadilan (meningkatkan aset dan akses desa terhadap sumberdaya alam, pelayanan publik dan anggaran negara untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat secara merata.
Lebih lanjut menurut IRE, UU Desa seharusnya memiliki tujuan-tujuan seperti berikut: (1). memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang telah ada, sebelum dan sesudah NKRI; (2) pengakuan dan penghormatan atas keragaman jenis desa; (3) memperjelas kedudukan desa dalam sistem ketatanegaraan; (4) memberikan jaminan terhadap desa dalam pembangunan nasional demi keadilan; (5) memberdayakan prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset- aset lokal; (6) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efektif dan efisien, transparan, serta akuntabel; meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat guna mempercepat perwujudkan kesejahteraan masyarakat; (7) meningkatkan ketahanan sosial-budaya masyarakat guna mewujudkan masyarakat yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional.
Kepala Desa Dermaji dalam acara RDP RUU Desa di Gedung DPR-RI
Sedangkan Karsa dalam tanggapannya menyatakan bahwa ‘RUU Desa’ versi Juli 2012 (versi Pemerintah) ini TIDAK SESUAI dengan AMANAT REFORMSI dan rumusan Pasal 18B Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Karsa mencatat bahwa draf versi Pemerintah ini hanya mengatur satu kemungkinan sistem penyelenggaraan ‘pemerintahan desa’. Sejauh yang dapat dipahami, keberagaman hanya akan terjadi dalam hal penyebutannya saja. Sementara hal-hal yang terkait dengan struktur pemerintahan, kedudukan dan kewenangan, penyelenggaraan sistem demokrasi, hak dan kewajiban desa, semuanya sama! Artinya, meski menyebut-nyebut pengakomodasian soal keragaman, tetapi format desa tetap bersifat “default village” yaitu desa yang bentuk atau formatnya seperti telah diatur seperti sekarang ini.
Lebih jauh, Karsa juga memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut: (1) Undang-Undang Tentang Desa atau disebut dengan nama lain, termasuk kewenangan dan penyelenggaraan ‘Pemerintahan Desa’, berdasarkan hasil amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 (lama) tahun 2000 lalu, haruslah merujuk pada Pasal 18B Ayat 2; karenanya Undang-Undang tentang Desa atau disebut dengan nama lain itu bukanlah bagian dari rezim Undang-Undang tentang Otonomi Daerah ataupun Pemerintahan Daerah, yang merujuk pada Pasal 18 (baru), Pasal 18A, dan Pasal 18B Ayat 1; (2) Undang-Undang tentang Desa mendatang haruslah dirancang sedemikian rupa, untuk menjadikan Desa atau disebut dengan nama lain sebagai dasar kemajuan Indonesia di masa datang. Untuk itu, Undang-Undang tentang Desa atau disebut dengan nama lain itu haruslah memberikan kewenangan dan keuangan yang memadai, berdasarkan PENGAKUAN (rekognisi) terhadap hak asal-usul yang melekat pada desa atau disebut dengan nama lain itu; (3) Hak asal-usul yang melekat pada desa itu menyangkut soal kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan negara di Tingkat Desa; penguasaan terhadap sumberdaya (ulayat) yang menjadi dasar penghidupan desa (termasuk hak untuk menerima distribusi asset dan/atau kekayaan Negara lainnya); serta hak untuk melakukan tindakan-tindakan pengadilan di tingkat desa; (4) Atas dasar kenyataan keberadaan desa yang amat beragam di Indonesa, baik karena tradisi maupun hasil rekayasa sosial selama ini, maka Undang Undang tentang Desa atau disebut denghan nama lain itu haruslah memungkinkan penyelenggaraaan pemerintahan desa yang beragam pula; yakni, baik melalui Sistem Desa Asli; Sistem Desapraja; dan Sistem Desa Administratif; (5) Atas dasar pengakuan dan kemauan politik untuk menjadi dasar bagi pengembangan kemajuan Negara dan bangsa Indonesia di masa yang akan datang, berdasarkan kemampuan yang telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini, desa berhak atas alokasi dana desa yang bersifat block grant dan bersumber dari APBN, setara 10% dari total jumlah APBN, melalui berbagai skema keuangan yang telah djelaskan dalam dokumen ini: (6) Demi kelangsungan kepemimpinan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, masa tugas yang layak bagi jabatan Kepala Desa adalah 2 kali masa jabatan, masing-masing 7 – 8 Tahun, dengan BATASAN USIA TERTUA pada akhir masa jabatan maksimal 65 tahun; (7) Seiring dengan perluasan kewenagan dan keuangan desa, utamanya pada sistem Desapraja, pengadaan sistem check dan balances adalah suatu keniscayaan pula. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberdayaan pada mekanisme-mekanise ‘demokrasi asli’ (seperti musyawarah dan rembug desa), dan mendorong partisipasi warga melalui pengorganisasian kelompok-kelompok tani, perempuan, pemuda, dan sejenis; (8) Agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, seluruh unsur yang ada dalam sistem organisasi yang ada di tingkat desa ini berhak atas sumberdaya yang cukup. Setidak- tidaknya untuk membantu biaya operasionalnya. Termasuk untuk pembiayaan Pemilihan Langsung Kepala Desa (pilkades) yang harus 100 % ditanggung oleh APBD .
Acara RDP RUU Desa berlangsung selama dua jam. Rapat dipimpin Ketua Pansus RUU Desa, Ahmad Muqowam yang didampingi Wakil Ketua Pansus Budiman Sudjatmiko dan Khatibul Umam Wiranu. Yang menarik, acara RDP juga bisa diikuti secara langsung oleh masyarakat melalui video live streaming yang bisa dilihat di www.suarakomunitas.net.
Kami para pemimpin Pemerintah Desa Jawa Timur,siap memboikot Pemilukada Jatim 29 Agustus serta Pemilu DPR,DPD,DPRD 5 April 2014
jika janji DPR untuk mengesahkan RUU DESA menjadi UNDANG UNDANG ternyata sampai kini KOSONG MELOMPONG tak pernah terealisasi
Pemerintah Desa yg selalu menjadi ujung tombak keberhasilan program Pemerintah Pusat hnya di jadikan SAPI PERAHAN tetapi tdk pernah diakui dlm struktur formal sbh institusi pemerintahan,dmn bhw pemerintahan itu yg ada hanyalah pusat sampai daerah yg sering disebut2 (bukan pemerintah desa)
INGAT JIKA TERNYATA DPR hanya main2 dg ini dan tdk segera mengesahkan RUU Desa menjadi sbh UU?mk jangan harap PEMILU 2014 PEMERINTAH DESA dpt kau jadikan alat lagi untuk kau peras madunya