DERMAJI.DESA.ID – Desa Dermaji memiliki banyak nama tempat yang dimungkinkan asal usulnya dari bahasa Sunda. Sebagai contoh ada cireang, cukangawi, citunggul, cipeundeuy, cimencos, ciwalen, cirongge, dan sebagainya. Nama-nama tersebut seolah memberikan petunjuk awal bahwa budaya lokal Dermaji banyak terpengaruh oleh budaya Sunda.
Untuk melakukan pendalaman terhadap sejarah nama-nama itu, Sabtu (14/10/2017), Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (FIB UNPAD) bekerjasama dengan Pemerintah Desa Dermaji dan Museum Naladipa mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Toponimi Bahasa Sunda di Jawa Tengah”. FGD dilaksanakan di Wisma PKK Desa Dermaji yang diikuti oleh perangkat desa, pengelola museum Naladipa, karang taruna, dan para guru dari wilayah Desa Dermaji.
Selain itu hadir juga narasumber Carlan, Kasi Sejarah, Purbakala, dan Permuseuman Dinporabudpar Kabupaten Banyumas dan Bayu Setyo Nugroho, mantan Kepala Desa Dermaji. Tim Peneliti yang diketuai Cece Sobarna, guru besar linguistik FIB UNPAD disambut oleh Penjabat Kepala Desa Dermaji, Maryanto.
Cece Sobarna yang pernah melakukan penelitian di Desa Dermaji tahun 2010 dan 2012 menyampaikan bahwa FGD dilakukan dalam rangka mencari masukan-masukan baru, khususnya terkait nama-nama tempat yang kemungkinan berasal dari bahasa Sunda yang selama ini belum teridentifikasi.
“Toponimi adalah ilmu yang menggali nama-nama tempat. Mengkaji nama-nama tempat bisa membuka sejarah masa lalu”, jelas Sobarna.
FGD diharapkan menghasilkan keluaran berupa data valid terkait toponimi bahasa Sunda di wilayah Jawa Tengah, khususnya Banyumas Barat. Hasil data valid kemudian akan diklasifikasi, dianalisis, dan dibukukan. Pengetahuan akan topinimi berbahasa Sunda dapat menjadi wahana edukatif bagi generasi muda, sehingga mereka dapat mengenal, memahami, dan melestarikan kebudayaan setempat.
Banyaknya nama-nama tempat berbahasa Sunda di wilayah Banyumas Barat khususnya, dibenarkan oleh Carlan, narasumber dari Dinporabudpar Kabupaten Banyumas. Tidak hanya nama-nama tempat, beberapa kosa kata yang sehari-hari diucapkan oleh masyarakat Dermaji juga banyak memiliki kesamaan dengan kosa kata yang biasa dipakai oleh masyarakat Sunda. Masyarakat Dermaji, yang saat ini usianya di atas 80 tahun biasanya masih bisa berbicara dengan bahasa Sunda. Dan orang mengenalnya bahasa Sunda badeol.
Narasumber lain, Bayu Setyo Nugroho menyampaikan bahwa pendekatan budaya dalam membangun desa sangat penting karena budaya sangat terkait erat dengan jatidiri masyarakat. Membangun desa hakikatnya adalah membangun peradaban. Membangun peradaban artinya kita bergerak meraih berbagai kemajuan, tetapi kemajuan yang kita peroleh berakar kuat pada jatidiri kita.
“FGD semacam ini sangat penting sebagai upaya untuk lebih mengenali sejarah dan budaya kita. Dan ini sesuai dengan kepentingan kita yang ingin terus memperkuat jatidiri kita”, jelas Bayu.
Tim peneliti lain yang juga dosen FIB UNPAD, Wahya menegaskan jangan sampai bahasa lokal yang dipakai masyarakat punah karena akibatnya sangat menyedihkan. Kita bisa tidak tahu lagi akar budaya dan sejarah kita. Agar bahasa lokal tidak punah, maka sikap bahasa yang kita lakukan juga sangat menentukan. Sikap bahasa yang harus kita miliki adalah kita cinta, bangga, dan hormat dengan bahasa kita.
Selamat untuk Museum Naladipa yang semakin progresif dalam bidang konservasi dan preservasi budaya di Desa Dermaji. Ayo, ambil aksi selangkah lagi yaitu kodifikasi. Kerja ini sepertinya cukup lambat kemajuannya akibat tradisi tulis dan dokumentasi terus terkikis oleh kesibukan administrasi dan event. Salut
Terima kasih. Mohon dukungan, saran dan masukannya agar pengembangan museum naladipa bisa lebih cepat lagi.
Eleuh eleh di dermaji oge aya basa sunda